Action Oriented Teaching

Oleh : MH. Sapto Widodo
(Widyaiswara PPPPTK BMTI)


Pada saat ini dan masa ke depannya, “Modern Training” memerlukan tersedianya “Modern Teachers” dan  “Modern Methodology of Learning”. Guru masa depan adalah “Modern teacher” yang kompeten di bidang keahliannya secara teori dan praktek, serta memiliki kepribadian super. Guru modern dapat merencanakan, mengorganisasi, merancang, menyiapkan dan menyajikan, mendemonstrasikan dan membuat pengajaran dan pelatihan teknisnya mudah dipahami dalam menggunakan unit pembelajaran didaktik sejalan dengan prinsip-prinsip pelatihan modern. Saling bertukar pengetahuan dan informasi dan mendiskusikan fakta dan hasil temuan dalam kelompok atau dalam sidang pleno merupakan keharusan. Aspek yang paling penting dalam budaya belajar adalah pertanyaan cerdas, yaitu "How to Learn?". Tulisan ini untuk mengajak seluruh warga sekolah agar termotivasi untuk mendirikan budaya pembelajaran baru, untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan kejuruan di negeri tercinta.
Kerampilan Abad 21  

Pendidikan tradisional difokuskan hanya pada mata pelajaran. Bertahun-tahun kemudian, sejak tahun 1980 sampai dengan sekarang bangunan pendidikan kita memerlukan manajemen dan kompetensi modern. Bangunan itu tumbuh secara gradual dan hari ini kita tahu bahwa belajar membutuhkan “budaya belajar”, dan masyarakat kita memerlukan “budaya pengetahuan”, sedangkan bangunan pendidikan kita memerlukan “budaya edukasi”, dan manajemen sekolah kita memerlukan ‘budaya manajemen berbasis sekolah”. Kesemuanya itu harus dipahami sebagai proses edukasi dan belajar “how to learn”.
Peran kunci dunia pendidikan dan pelatihan dalam pembangunan nasional telah diakui secara universal. Pendidikan dan pelatihan kejuruan adalah salah satu unsur pendidikan yang paling produktif. Selain mempersiapkan individu untuk memasuki dunia kerja dengan mengajarkan kompetensi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia usaha dan industri, sekolah kejuruan juga memikul tanggung jawab moral untuk pengembangan pribadi yang peserta didik, dan partisipasi efektif mereka di masyarakat..
Keterampilan abad 21 telah mendorong adanya pergeseran paradigma dalam pendidikan umum dan kejuruan dalam rangka menghasilkan “Knowledge- worker” bukan sekedar “Skill-Worker”. Kebutuhan tenaga kerja yang memiliki pengetahuan dan keterampilan tinggi, dapat bekerja dalam kelompok (tim) serta memiliki motivasi untuk belajar sepanjang hayat sehingga mampu mengantisipasi kebutuhan tempat kerja pada masa mendatang telah merubah wajah ekonomi di seluruh dunia.
Untuk meningkatkan kesempatan kerja, angkatan kerja perlu memiliki keterampilan yang flexible dan relevan dengan tuntutan masyarakat saat ini, di mana individu harus memiliki kombinasi pengetahuan, keterampilan praktis dan sosial dan sikap positif, serta kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara mandiri, kreatif dan bertanggung jawab. Jika lembaga pendidikan dan pelatihan kejuruan diperuntukkan untuk memenuhi harapan yang beragam seperti itu, maka diperlukan perubahan substansial sedemikian rupa dalam sistem pendidikan dan pelatihan kejuruan yakni harus  berorientasi untuk memberikan berbagai keterampilan hidup.  Dengan demikian diperlukan transformasi dalam belajar dan mengajar di pendidikan dan pelatihan kejuruan.
Educated for Autonomy
Menghadapi tuntutan keterampilan abad 21, sudah semestinya jajaran sekolah kejuruan dapat mengarifi fenomena alam tersebut melalui tindakan nyata dalam proses pembelajaran. Pada abad 21, dunia kita membutuhkan tenaga kerja tangguh yang disebut sebagai “K-Worker”.
“K-Worker” memiliki karakteristik sebagai berikut:
  • Wilingness for life long learning
  • To work in network and team
  • To anticipate future need at the workplace
Agar lulusan sekolah kejuruan dapat memiliki ketiga karakteristik “K-Worker” seperti tersebut, maka harus dibekali dengan tiga kompetensi utama yaitu technical competence, human & social competence, dan learning & methodogical competence.
Hermann Schmidt, dalam Strategies for Technical Education in the 21st Century, pada tahun 2000, di Riyadh, Saudi Arabia, menegaskan, bahwa tujuan pendidikan umum dan kejuruan pada abad 21 adalah:
Use knowledge as a tool for building his/her personality and to achieve autonomy in thinking process and in work performance
Selanjutnya menurut Schmidt, bahwa harus ada pergeseran paradigma dalam pendidikan dan pelatihan kejuruan, yaitu
Whatever the level of technical education may be, its objective must be to educate for autonomy”.
Untuk menjawab tantangan tersebut, ada beberapa permasalahan mendasar yang harus dibenahi dan diselesaikan oleh sekolah kejuruan:
  • Bagaimana bentuk “lingkungan belajar yang dibuat oleh guru?
  • Bagaimana guru memanfaatkan “teknologi dan media” dalam melaksanakan strategi pengajarannya?
  • Mungkinkash sekolah kejuruan, mewajibkan sebagian interaksi dan umpan balik, dilakukan secara asinkron (pembelajaran jarak jauh misalnya)?
Konsep Action-oriented Teaching
Pendekatan “Action-oriented” merupakan konsep baru dalam  pengajaran (teaching) dan pelatihan (training). Pendekatan ini merupakan pengembangan dari pendekatan “Action Learning” yang diperkenalkan Profesor Revans.
Ada tiga hal penting yang diangkat dalam pendekatan “Action Oriented” ini, yaitu:
1.  Guru mengembangkan tugas dalam bentuk proyek atau masalah kemudian siswa perlu memecahkan dan menguasai masalah dalam kelompok atau tim, di mana setiap anggota tim harus bertindak dengan tanggung jawab pribadi.
2.    Guru harus kompeten dalam subjek dan metode. Guru tidak lagi menyajikan pengetahuan untuk siswa melainkan bertindak sebagai pelatih atau moderator dan memungkinkan siswa menemukan subjek dan melatih keterampilan.
3.    Pendekatan baru belajar mandiri (self-learning) perlu diberikan karena dalam jangka panjang akan dapat mengarahkan pada pembelajaran seumur hidup  (life-long learning) yang merupakan keharusan dalam mengantisipasi berkembangan teknologi yang begitu cepat saat ini. Proses belajar mandiri (self-learning) perlu didukung oleh aplikasi media modern dan ICT.

Saat ini tersedia berbagai program komputer dan program simulasi interaktif yang tersedia di Internet dan pada kebanyakan kasus dapat di-download sebagai versi demo-bebas. Paradigma baru dalam “teaching & learning”, belajar tidak dibatasi oleh dinding kelas, guru harus mampu menciptakan lingkungan belajar bagi siswanya dengan memanfaatkan teknologi instruksional dan media. Gambar 1 memperlihatkan tipikal penerapan “action oriented teaching”.
Gambar 1.  Learning Platform dalam “action-oriented
Dalam menciptakan lingkungan belajar bagi siswa harus mengacu pada standar kompetensi (SKKNI) dan kualifikasi kerja (KKNI) yang berlaku secara nasional. Walaupun kompetensi dapat diperoleh dari analisis pekerjaan atau analisis kebutuhan pelatihan (Training Need Analisys). Dalam konteks pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi, kita berbicara tentang kompetensi yang menggambarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus dimiliki untuk memperoleh kualifikasi kerja atau standar profil pekerja yang dituntut pada bidang pekerjaan tertentu. Kita berbicara tentang kompetensi profesional yang harus dimiliki oleh seseorang yang menekuni suatu profesi tertentu. Kita tidak lagi bicara tentang kompetensi yang menggambarkan sikap dan perilaku setiap siswa. Gambar 2 memperlihatkan lingkungan belajar siswa yang memanfaatkan teknologi instruksional dan media.
 
Gambar 2.  Lingkungan belajar Siswa
Untuk mewujudkan itu, sebagai modal awal, yang kita perlukan adalah menyingkirkan segala pikiran negatif  (negative thinking). Salah satu alasan yang paling sering digunakan untuk kompensasi atas ketidakmampuan dan kemalasan adalah: What can we do?  We don’t have money! We are not allowed!, and so on....
Argumen-argumen seperti itu tidak ada artinya dan semua adalah palsu karena pada hakekatnya guru bisa mengubah banyak hal pada tingkat mikro dunia pendidikan kita. Integratsi antara proses bottom up & top down akan melibatkan semua warga  sekolah termasuk pemerintah daerah. Pelaksanaan pendidikan dan peltihan sesuai standar dan kualifikasi yang berlaku secara nasional akan menjadi lebih mudah jika semua pemangku kepentingan dapat terlibat dalam proses reformasi dari atas ke bawah dan bawah ke atas. Untuk mewujudkan sebuah impian dengan sebuah Success Story membangun pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi yang kita perlukan adalah ‘positive thinking” bukan “negative tingking
Managemen dalam proses reformasi pendidikan (top-down/bottom-up), terbagi menjadi tiga level, yaitu (1) level Macro, (2) level Meso, dan (3) level mikro.
Level Macro, menyangkut kebijakan pendidikan & ekonomi serta pemerintah, yang berupa undang-undang,  kerangka regulasi dan standardisasi
level Meso, melibatkan administrattion, badan pengawas dan pemegang otoritas, yang berupa regulasi, peraturan-pearturan, pedoman dan supervisi.
level Micro, melibatkaninstitusi pendidikan dan peltihan, siswa dan guru, dan hasilnya berupa ”Good education and training

Dalam pelatihan berbasis kompetensi (competency-based training), siswa selalu menjadi pusat. Siswa merupakan “client” dan harus diperlakukan sebagai pusat (centre). Guru sebagai pelatih (trainer) atau lebih tepat disebut sebagai pelatih (coach) dan harus memainkan peran baru dan fenomenal, yang menantang dan bersifat revolusional,
Kajian tentang bagaimana kita dapat meningkatkan budaya belajar pada level mikro untuk mencapai tujuan yang sangat penting adalah menyajikan “ a good lesson”, melalui pertanyaan cerdas sebagai berikut: What to learn? Where to learn? How to learn? Which assessment is applied?
Pendekatan “action oriented learning” tidak selalu memerlukan komitmen dari pemegang otoritas, sebab tidak bergantung pada templat dan struktur kurikulum, guru dapat melakukan pengajaran dengan menggunakan sistem blok bila tidak ada peluang lain, dan pendekatan ini jauh lebih baik dari cara tradisional. Yang paling krusian dan perlu pertimbangan matang adalah bagaimana guru merencanakan “siklus pembelejaran dan learning material”.
Siklus pembelajaran
Action-oriented teaching/learning dieksekusi melalui action Cycle. Dalam hal ini, para siswa harus belajar dan berlatih mengeksekusi pekerjaannya dalam urutan yang logis (lazim disebut sebagai action cycle).
Action-oriented Teaching
Proses belajar pada action-oriented teaching dimulai dari aksi 1 dan diakhiri pada aksi 5, sebagai berikut:
Aksi 1
Guru merencanakan proses pembelajaran dalam metodologi yang sama para siswa belajar. Guru mengambil tugas (masalah) dari kurikulum, atau keterampilan profesional yang diperlukan untuk suatu pekerjaan.
Aksi 2
Guru mengumpulkan dan memilih informasi dan peralatan yang dibutuhkan para siswanya untuk menyelesaikan masalah atau proyeknya.
Aksi 3
Guru menentukan lokasi, di mana parasiswa harus memproses pekerjaannya.
Aksi 4
Guru merencanakan bagaimana mengorganisasikan alur kerja. Bagaimana mengintegrasikan kekuatan dan kelemahan siswanya dan bagaimana mendukung proses kerja mereka sebagai pelatih dan fasilitator.
Aksi 5
Guru merencanakan bagimana mengevaluasi dan bagimana menilai pekerjaan siswanya secara individu.
Sekarang guru hidup di dalam budaya belajar baru, di mana siswa belajar dengan penuh semangat dan termotivasi. Guru membantu siswa jika perlu, guru mengamati dan mengikuti perangai dan unjuk kerja siswa sebagai individu. Pengukuran kompetensi yang diperoleh setiap individu siswa tidak lagi dipertanyakan. Gambar 2 memperlihatkan siklus belajar yang dilakukan oleh siswa.

Gambar 3. Proses “Action Oriented teaching
Learning Material
Penerapan Action oriented learning di sekolah kejuruan perlu perencanaan tugas yang cocok agar siswa mampu melakukan tindakan dengan cara belajar secara self-responsible dan self-organized, termasuk proses komunikasi dan kerjasama dengan siswa lain dan guru. Perbedaan utama dibandingkan dengan pengajaran tradisional adalah perubahan dari aktivitas siswa. Guru tidak sekedar melaksanakan pengajaran dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan yang harus siswa pelajari.
Dalam Action oriented learningsiswa harus memperoleh pengetahuan dan keterampilan menurut kemampuan sendiri, untuk menemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan tugasnya. Pengajaran tidak lagi "satu arah" dari guru kepada siswa, yang harus mengikuti "instruksi guru”. Action oriented learning mengandung makna bahwa siswa harus mengumpulkan dan memilih informasi yang diperlukan dan memperoleh pengetahuan untuk menyelesaikan tugas.
Siswa bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri baik untuk kinerja dan  kemajuannya. Sekolah dan guru menyediakan learning-platform, lingkungan belajar, dengan semua fasilitas yang diperlukan. Setelah siswa mampu belajar “bagaimana belajar” dan menyelesaikan tugas sendiri, mereka memperoleh kompetensi yang akan membuat mereka mampu untuk belajar sepanjang hayat. Tuntutan baru dalam pekerjaan dan tenaga kerja yang dipicu oleh adanya perubahan teknologi yang dinamis menuntut kompetensi “to learn how to learn”.
Proses belajar ini disebut self-organized learning, self-responsible learning, atau self-controlled learning. Self-organised learning bukan berarti tidak memerlukan lagi figur guru. Atau hanya kegiatan guru yang berubah dari fungsi instruktur menjadi pengorganisasi proses belajar. Para ahli di bidang Vocational education & training (VET) telah mengembangkan pendekatan baru untuk self-organised learning.
Sebagai contoh:
a). Project work: siswa menyelesaikan tugasnya sendiri dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang telah dimilikinya untuk merencanakan solusi yang tepat. Siswa bekerjasama dengan siswa lainnya dan berkomunikasi dengan gurunya, untuk memperoleh learning-step yang lengkap. 
b). Learning agreement: Guru dan siswa bekerja berdasarkan learning agreement dalam bentuk sebuah kontrak kerja. Dengan ikatan kontrak tersebut memaksa siswa untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya sesuai aturan action-oriented learning.
c). Matriks kompetensi: setiap kompetensi yang diperlukan disusun dalam bentuk matriks. Melalui baris matriks, siswa dapat membaca dan mengetahui apa yang harus dipelajari. Dan melalui kolom matriks siswa memperoleh informasi tentang level kompetensi yang harus diperolehnya melalui modul atau pelatihan tertentu.
Siswa belajar mengikuti “learning step” sesuai dengan kompetensi yang diperolehnya. Bila siswa berhasil, ia dapat menggunakan “alat test” untuk mengevaluasi pekerjaannya sendiri. Jika menjumpai kesulitan atau peluang untuk mendapat kompetensi tambahan, ia dapat berlatih ke gurunya. Setelah evaluasi unjuk kerja selesai, ia dapat menkanjutnya ke langkah berikutnya. Untuk mengembangkan lingkungan belajar sesuai tuntutan kurikulum, para guru dapat bekerja bersama dalam sebuah tim. Siswa bertindak dalam lingkungan belajar di mana ia memiliki akses ke teknologi informasi dan komunikasi dan di mana ia  dilatih oleh guru sebagai individu atau sebagai anggota tim.
Inovasi tersebut perlu manajemen secara umum, atau sebuah sistem manajemen. Sesuai dengan  hasil temuan dalam penelitian pedagogis, metode action-oriented teaching dan juga self-organised learning dinyatakan sebagai " seni ".
Guru menjalani kehidupan dan pekerjaan dalam lingkungan baru yakni “action-oriented teaching”. Guru menyusun rencana pelajaran dalam budaya baru pengajaran. Dia bertindak seperti seorang pelatih dalam proses belajar dan ia merencanakan proses dari tindakan 1 sampai 5 dan menuliskannya ke dalam bentuk rencana pelajaran (lesson plan) yang singkat.
Pendekatan ini akan dapat digunakan secara efektif jika:
Siswa terlibat dalam memberikan umpan balik langsung ke siswa lain
Instruktur memberikan panduan kerangka analisis. Penekanan pada keterampilan berpikir kritis dituangkan di seluruh kurikulum. Pendekatan baru “action oriented”  menuntut re-organisasi fasilitas sekolah kejuruan, ruang kelas, bengkel/laboratorium, silabus dan pengadaan peralatan praktek. Jika dalam pendidikan dan pelatihan tradisional, siswa belajar teori dari guru teori di kelas dan mendapatkan keterampilan dari guru praktek di dalam bengkel praktek terpisah, maka dalam pendekatan “action oriented” mereka sekarang belajar secara holistik teori dan praktek bersama-sama pada waktu yang sama dan di tempat yang sama , menggunakan ruang kelas, laboratorium dan bengkel sesuai dengan kebutuhan. Learning material atau pengalaman belajar yang harus dibuat oleh guru sebagai fasilitator andal. Dalam hal ini akan diperkenalkan satu pendekatan cerdas yang disebut “Action Oriented”.
Dalam pendekatan ini, ada tiga hal yang harus diperhatikan guru sebagai fasilitator dalam menciptakan pengalaman belajar bagi para siswanya, yaitu melalui:
  • Traditional based learning
  • Learn & Work Assignment
  • Technological base learning
Dengan mengikuti ketentuan tersebut, maka guru harus menciptakan lingkungan belajar bagi para siswanya secara blended system yang merupakan gabungan penciptaan lingkungan belajar sinkron dan asinkron.
Traditional based Learning
Sistem penyampaian pengajaran tradisional dengan memanfaatkan tatap muka antara guru dan siswa daslam waktu bersamaan (sinkron) masih tetap diperlukan, karena sistem pengajaran ini masih banyak memberikan manfaat khususnya dalam penanaman kepribadian dan jiwa sosial siswa.

Learn & Work Assignment:
Learning Material yang diberikan kepada siswanya, dibedakan dalam tiga kategori, yaitu :
(1).    CLOSED” Learn and Work Assignments
CLWAs contain detailed guiding questions and hints
(2).       “OPEN” Learn and Work Assignments
OLWA have some general guiding questions & hints
(3).       “OPEN, INNOVATIVE” Learn and Work Assignments
Organisation-based on-the-job training styled assignments

Technology Based Learning
Pendekatan “action oriented” mengahruskan guru dalam menciptakan lingkungan belajar bagi siswanya menggunakan teknologi. Dengan lingkungan belajar sinkron, berarti guru harus melaksanakan pengajaran dlm waktu bersamaan, di mana para siswa menghadiri pengajaran dlm waktu yg sama, secara langsung secara tatap muka (traditional base learning), dengan sistem jarak jauh (e-learning), melalui siaran langsung di TV, jaringan komputer dan telekonferen.  Dengan menciptakan lingkungan belajar asinkron, berarti guru mewajibkan siswa belajar dalam waktu  tidak bersamaan, para siswa menghadiri pengajaran dlm waktu yg tidak sama, melalui buku teks, melalui VCD/DVD. 
Dibandingkan dengan kurikulum dan pelatihan tradisional metode “action oriented” menuntut tidak hanya konten baru dan metodologi baru, tetapi juga organisasi baru dalam perencanaan pelajaran. “Action oriented learning” adalah belajar dalam suatu kerja proyek dan pelajaran hanya dapat diorganisasikan secara blok. Istilah “action oriented” atau “project oriented” dapat digunakan secara sinonim, sedangkan istilah “problem solving” meliputi keduanya. Dalam sebuah “action work atau project work” selalu ada tugas atau masalah yang harus dipecahkan.
Tenaga kerja yang dilatih dalam pelatihan tradisional tidak dapat lagi dipekerjakan dalam sistem perekonomian mendatang. Skill worker dengan pengetahuan dan keterampilan profesional fantastik tidak akan berguna dalam suatu proses kerja tanpa memiliki kompetensi “self-reliance”, komunikasi, self control, bekerja dalam tim, dll. Dalam “action oriented training”, kompetensi profesional dan kompetensi non-profesional (seperti analisa, penalaran logis, berfikir dan bekerja dalam kelompok,  komunikasi, kemampuan atau akurasi berbahasa dan ketepatan waktu) diperoleh bersama-sama dan tidak dapat dinilai secara terpisah. Mereka menggambarkan  individu secara holistik.
 Dari uraian di atas dapat dikatakan di sini, bahwa pendekatan “action oriented learning” pada kenyataannya adalah proses pembelajaran individu.
Aspek utama dari “action oriented learning” dapat dirangkum sebagai berikut:
  • Sebuah cermin dari kerja nyata
  • Sebuah tugas kerja dan belajar
  • Sebuah pembelajaran yang holistik dan pengajaran lintas subjek
  • Sebuah metodologi baru dan organisasi kelembagaan baru
  • Lingkungan belajar baru
  • Sebuah kerja proyek atau tugas tindakan
  • Sebuah metode pemecahan masalah
  • Sebuah proses pembelajaran individu
  • Sebuah proses pengajaran dengan konseling dan pembinaan
  • sebanyak mungkin penilaian dalam konteks yang realistis
  • Sebuah metode belajar bagaimana belajar
  • Sebuah persiapan untuk “Life Long Learning”.

                REFLEKSI
Di daerah mana pendidikan dan pelatihan di sekolah Anda sekarang berada?
DAFTAR PUSTAKA
Sharon  E. Smaldino, (2008), Instructional Technology & Media for Learning,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Frank Bunning, (2007), Approaches to Action Learning in Technical and
       Vocational Education and Training (TVET), InWEnt – Internationale
Weiterbildung und Entwicklung gGmbH Capacity Building International,
Germany.
Grunner, Uwe, (2002), Methodology of Action Oriented Teaching, GIZ.
.................., (2005), The use of ICT for learning and teaching in initial Vocational
       Education and Training, Final Report to the EU Commission, DG Education
& Culture.



Tanggal : 07/01/2012
0 Responses